Resensi Film ''Jomblo''

Kamis, 03 Februari 2011
Judul: JOMBLO
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Salman Aristo, Adhitya Mulya, Hanung Bramantyo
Pemain: Ringgo Agus Rahman, Christian Sugiono, Denis Adhiswara, Rizky Hanggono, Rianti R. Cartwright, Nadia Saphira, Tike Priatna Kusumah
Produksi: SinemArt Pictures


Sebuah karya Hanung Bramantyo yang memotret petualangan cinta empat mahasiswa. Kental dengan pesan moral dan disajikan dengan pendekatan karikatural.

Empat mahasiswa, empat pasang mata, empat keinginan untuk punya pacar dan tidak jadi jomblo. Empat mahasiswa Universitas Negeri Bandung jurusan teknik sipil itu sedang mencari jodoh di kampus sebelah. Sadar bahwa di almamaternya tak ada keadilan gender (jumlah cewek lebih sedikit), mereka pasang mata di kantin, mencari mahasiswi bening dan rupawan.

Sejak awal film, kita langsung saja tahu keempatnya melalui Agus (pendatang baru berpotensi, Ringgo Agus Rahman). Doni (Christian Sugiono) yang ganteng dan banyak pacar berfungsi jadi dokter cinta yang memberi saran bagaimana membuat cewek nyaman. Bimo (Denis Adhiswara yang bersinar) lebih bernyali dengan kepulan cannabis sativa dan mengobrol di telepon. Olip (Rizky Hanggono dengan kemampuan seni peran yang sangat terbatas) lebih suka mengintip cewek pujaan melalui kamera ponselnya. Dan Agus, tokoh kita, banyak omong, banyak kepusingan karena punya dua pacar dan bingung memilih.

Bila kita sudah mulai sebal, bosan, atau abai pada film bertema cinta, ini saatnya boleh mengalihkan perhatian. Film ini sebuah karikatur dalam arti plot dan harfiah tentang cinta lelaki.

Kita kemudian memahami alasan lelaki untuk berselingkuh, alasan lelaki untuk akhirnya mencoba setia, atau bagaimana lelaki bisa bubar persahabatan hanya karena merasa kawasannya diganggu lelaki lain. Dengan kata lain, lelaki menganggap perempuan sebagai teritorinya yang tak boleh disentuh (sementara dia boleh, dong, berkunjung ke kawasan lain).

Tidak banyak yang menyadari keistimewaan Hanung bahkan setelah dia mendapat gelar sutradara terbaik bahwa dia adalah sutradara yang sangat teliti dan sangat memperhatikan kultur Indonesia. Artinya, Saudara-Saudara, dia tak akan mencangkokkan sebuah konsep Amerika dan memaksakan sebuah plot ke sebuah Indonesia. Mungkin karena latar belakangnya di dunia teater atau pengalamannya magang di Teater Populer. Yang jelas, meski film-film yang disutradarainya selalu berkategori ringan, Hanung menggarapnya dengan serius.

Penanganannya terhadap pemain juga serius, meski memang keempat pemain belum tampil merata. Kecuali Rizky Hanggono, ketiga aktor lain tampil bagus. Para pemain perempuan pun bersinar. (Nadia Saphira dan Denis Adhiswara boleh dilirik dengan serius.)

Ciri khas Hanung yang lain adalah filmnya cenderung sangat bermoral. Artinya, tokoh-tokohnya pasti akan memutuskan menjadi orang baik (ada mahasiswa yang membuang kondom meski pacarnya sudah menanti dengan penuh harap, ada mahasiswa yang akhirnya bertahan dengan pacar pertama, dan seterusnya). Doni si tukang bercinta tak lagi sembarangan menumpahkan kelenjarnya, Bimo kualat tak pernah dapat pacar karena tak pede melepaskan kesetiaan ganjanya. Pokoknya, semua ada sebab akibat, deh. Tokoh-tokohnya memang bandel. Tapi baik. Hanung terobsesi membawa pesan baik.

Film yang banyak memakai teknologi mix karikatural dengan tempo cepat ini sebuah cara Hanung berekspresi. Seperti spirit film Y Tu Mama Tambien (2001) karya sutradara Meksiko, Alfonso Cuaron, mengenai cinta, persahabatan, dan seks; juga film American Splendor (2003) mengenai kisah komikus Harvey Pekar.



***************


Hanung Bramantyo:
Film Saya Selalu Membawa Pesan Baik


Hanung Bramantyo tampil di atas panggung Festival Film Indonesia dengan wajah terkejut. Dengan penampilan yang sangat tidak siap, dia hanya mengenakan oblong dan celana training, dia mengatakan, "Kirain saya cuma jadi penggembira." Dia bukan hanya basa-basi dan sok merendah dengan gelar dan Piala Citra yang diraihnya sebagai sutradara terbaik 2005, tetapi dia sendiri mengaku menjagokan Riri Riza sebagai sutradara terbaik untuk film Gie tahun lalu.

Riwayat film Brownies tak selegit nama kuenya. Lulusan Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta itu menerima sebuah skenario dari SinemArt dengan judul dan cerita yang berbeda. Tidak ada kue brownies; hanya percintaan biasa. Hanung dan penulis skenario Salman Aristo kemudian mengobrak-abrik skenario itu. Tekad Hanung cuma satu, membuktikan ia bisa membuat film layar lebar, bukan hanya sinetron.

Pria yang lahir 1 Oktober 1975 dengan nama Setiawan Hanung Bramantyo ini pernah magang di Teater Populer arahan Teguh Karya. Karyanya pernah tampil di RCTI, Gelas-gelas Berdenting (1999), meraih juara ketiga Bronze 11th Cairo International Film Festival, kategori program TV, di Mesir.

Bersama Garin Nugroho, sutradara favoritnya, Hanung yang aktif di Teater Anom ini pernah terlibat dalam pembuatan Anak Seribu Pulau dan Visi Anak Bangsa, termasuk film dokumenter Pustaka Tokoh Bangsa Soekarno dan Panggung untuk Syahrir.

Cerita Topeng Kekasih, yang ditampilkan di Tampere International Film Festival di Finlandia, New York University Student Film, dan satu-satunya film Indonesia di antara 34 negara di dunia, tampil di Singapore Film Festival dam Melbourne Film Australia.

Berikut petikan wawancara dengan ayah dari Barmastya Bhumi Brawijaya ini.

Bagaimana cerita mahasiswa ITB yang mengajukan protes terhadap film Jomblo?


Saya undang rektornya hadir pada pemutaran film di Plaza EX, Jakarta, minggu lalu. Tapi yang diutus adalah seorang mahasiswa. Utusannya itu meminta adegan membeli kondom dibuang. Katanya, tidak bermoral dan mengajarkan seks bebas. Padahal justru tokoh itu membuang kondomnya begitu melihat sepasang kekasih baru pulang dari masjid. Katanya, ada proses ke arah seks. Ini edukasi agar orang tidak terjerumus, sekalipun punya keinginan berbuat jelek. Dia bilang, pandangan edukasi kami berbeda.

Soal izin syuting di kampus ITB?

Kami dapat izin syuting, telah melewati prosedur. Tak ada persoalan apa-apa. Kami punya itikad baik. Tak ada atribut kampus ITB di sana. Nama kampusnya saja Universitas Negeri Bandung.

Sebetulnya, nonton dulu. Banyak adegan di novel yang saya buang. Tidak ada adegan seks atau ciuman. Percuma, pasti disensor juga. Malah saya kreasikan memberi kata sensor pada adegan mimpi Agus.

Soal izin syuting bagaimana?

Awalnya sulit. Setelah bernegosiasi, kami penuhi syarat tidak akan menjelekkan ITB. Bahkan opsi mereka agar syuting delapan hari itu tidak pada jam kuliah, waktu kuliah libur, kami taati. Kami hanya memakai tempat, dan cerita dibuat fiksi.

Peran badan sensor film?

Sudah ada izin film beredar. Sudah lulus badan sensor.

Kenapa film ini kental betul pesan moralnya? Ada mahasiswa yang membuang kondom. Ada yang mau ciuman, batal. Ada yang kembali ke pacar pertama.

Film sebuah media menyampaikan pesan baik. Pembuat film punya pandangan baik, tapi sering ditafsirkan berbeda di kalangan tertentu dan menimbulkan prokontra. Pesan film ini, untuk mencapai hal yang baik, manusia mengalami pendidikan dua guru: guru goblok dan guru baik. Peran jelek ada pada kegiatan narkoba, seks, atau penyikapan cinta yang salah. Lalu manusia sadar gurunya salah dan dia mencari jalan sendiri mencapai kesempurnaan.

Ketika baca Jomblo, bagaimana?

Saya pikir temanya cinta lagi. Ketika baca seluruh bukunya, saya menangkap nuansa lain. Penulisnya punya pandangan yang berbeda soal cinta. Saya merasa tertusuk sebagai lelaki. Ini film dunia lelaki. Wanita itu bisa memaafkan karena punya hati yang lebih luas daripada lelaki. Saya harap laki-laki se-Indonesia akan tertusuk juga. Dalam hal persahabatan atau cinta, perempuan selalu bisa memaafkan. Tapi lelaki bisa jadi berantem dan putus persahabatan.

Anda ingin menjadi sutradara produktif atau selektif?

Produktif, karena saya hidup dari film. Bayaran sutradara tidak segede selebriti. Selebriti satu produksi bisa hidup minimal enam bulan sampai setahun. Sutradara honornya enggak sampai 50 persen honor selebriti. Makanya, selesai syuting, kami (para sutradara-Red) lari ke produksi lainnya. Saya harus hidup, apalagi punya anak. Dan cita-cita saya membelikan rumah dia di Malang.

Sebuah Piala Citra diberikan untuk Anda. Bagaimana memandang penghargaan itu?

Piala Citra, bagi orang film, prestisius. Tapi Citra baru lahir lagi dua tahun setelah 12 tahun vakum. Usianya balita. Belum representatif seperti Piala Citra di masa lalu, apalagi Academy Award. Makanya, penyikapan saya obyektif saja. Alhamdulillah dapat Citra. Ini bagian dari proses hidup dan keberuntungan saya, tapi bukan pencapaian. Saya menjagokan Riri Riza saat itu.

sumber: http://www.kaskus.us/showpost.php?p=41734209&postcount=148

0 komentar:

Posting Komentar